GURU BERMANFAAT
“Dulu, saya bisa seperti ini karena guru saya.”
fathani.com. – Dalam lintasan peradaban manusia, guru selalu menempati posisi istimewa. Guru bukan hanya pelaku pendidikan, tetapi sosok yang menentukan arah generasi. Di dunia yang berubah cepat oleh arus teknologi dan informasi, eksistensi guru semakin krusial—bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pemberi manfaat, pewaris risalah ilmu, dan penabur amal jariyah sepanjang zaman.
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صصَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Ketika seorang manusia meninggal dunia, maka amalannya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mau mendoakannya. (HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah amal yang terus mengalir, bahkan setelah seorang manusia meninggal dunia. Inilah hakikat kebermaknaan seorang guru: menjadi muwarriṡ al-ʿilm (pewaris ilmu) yang menyebarkan cahaya melalui pengetahuan, membentuk karakter, dan menginspirasi hidup orang lain.
Seorang guru tidak hanya menjalankan tugas profesional, tetapi juga berada dalam lintasan amal saleh yang berkelanjutan. Setiap kalimat yang membangkitkan semangat belajar, setiap bimbingan yang meluruskan akhlak, dan setiap dorongan yang menumbuhkan keberanian berpikir adalah bentuk sedekah intelektual yang tak akan terhapus oleh waktu.
Dalam perspektif pendidikan Islam, guru bermanfaat adalah mereka yang menanam nilai ‘ilm (ilmu), amal (perbuatan), dan akhlak (moralitas). Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, guru sejati adalah orang yang mengajar bukan demi popularitas atau materi, tetapi demi menyelamatkan jiwa manusia dari kebodohan dan kesesatan.
Artinya, kebermanfaatan seorang guru bukan hanya diukur dari pencapaian akademik siswanya, tetapi dari seberapa dalam ia memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berkontribusi dalam kehidupan sosial mereka. Ia hadir sebagai pembuka jalan, bukan penentu hasil; sebagai pemberi obor, bukan satu-satunya cahaya.
Di era teknologi digital sekarang ini, guru memiliki peluang sekaligus tantangan untuk memperluas kebermanfaatannya. Teknologi bukan hal yang harus dijauhi, melainkan alat bantu. Guru bermanfaat adalah mereka yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai mulia ke dalam platform digital. Guru harus mampu menjadi produsen konten edukatif yang mendidik, bukan sekadar mengejar tren.
Konsep technological pedagogical content knowledge (TPACK) semakin penting untuk memastikan bahwa teknologi tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga memperkuat makna. Di sisi lain, kebermanfaatan guru tetap bergantung pada niat dan nilai-nilai ruhiyah yang menyertai setiap aktivitas pengajarannya.
Guru yang bermanfaat adalah pelaku amal jariyah. Ia mungkin tidak menyumbangkan harta, tetapi ia menyumbangkan ilmu yang menyelamatkan hidup. Ia mungkin tidak dikenal dunia, tetapi dikenal oleh malaikat karena do’a para muridnya yang mengingat, “Dulu, saya bisa seperti ini karena guru saya.”
Dalam kacamata sosial, guru adalah pemelihara social capital (Putnam, 2000)—mereka membangun ikatan moral, memperkuat komunitas, dan menanamkan semangat kolaborasi. Dalam kacamata akhirat, guru adalah penabur pahala tanpa batas, karena setiap ilmu yang diamalkan oleh muridnya akan menjadi mata rantai kebaikan yang tak terputus.
Dalam perspektif pedagogi modern, guru yang ideal bukan hanya menjalankan transfer of knowledge, tetapi juga transformation of character (Vygotsky, 1978). Artinya, guru bukan hanya menyampaikan konten pelajaran, tetapi menanamkan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, tanggung jawab, dan integritas.
Menjadi guru bermanfaat adalah pilihan hidup yang tak selalu mendapat sorotan. Namun, ia adalah jalan sunyi yang penuh makna. Ia tidak hanya mengisi kepala, tetapi membentuk hati. Ia tidak hanya mencetak nilai, tetapi menumbuhkan makna.
Dalam dunia yang semakin gemar mengukur segala sesuatu dengan angka dan popularitas, guru bermanfaat memilih untuk menjadi jejak abadi dalam diam—melalui ilmu yang ditanamkan, amal yang dijalankan, dan do’a yang terus mengalir dari mereka yang pernah disentuh jiwanya.
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا
وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” HR. Tirmidzi).
Dalam realitas sosial hari ini, kita tak hanya butuh guru yang cakap secara akademik, tetapi juga yang peka terhadap problem sosial, adil dalam berpikir, dan tulus dalam bertindak. Guru bermanfaat adalah mereka yang melihat pendidikan bukan sekadar proses formal, tetapi sebagai panggilan untuk menumbuhkan manusia seutuhnya.
Mereka adalah penjaga nilai, penabur akal sehat, dan penyambung harapan. Dalam konteks ini, profesi guru tidak lagi cukup disebut mulia—ia adalah peradaban itu sendiri.
Walhasil, guru bermanfaat bukan dinilai dari gelarnya, banyaknya sertifikasi, atau seberapa viral ia di media sosial. Guru bermanfaat adalah mereka yang ditanamkan dalam ingatan peserta didik karena pernah membuat mereka percaya diri, merasa berharga, dan mencintai belajar.
Dalam konteks inilah, tentu kita membutuhkan lebih banyak guru seperti ini: yang mengajar dengan ilmu, mendidik dengan hati, dan meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu. [ahf]
Posting Komentar untuk "GURU BERMANFAAT"
Posting Komentar