JURNAL SYUKUR

“Belajar adalah anugerah, dan mensyukuri setiap momen belajar
adalah bentuk pendidikan paling hakiki.”

 

fathani.com. – Di tengah arus pendidikan modern yang sarat dengan target akademik, ujian, dan penilaian kuantitatif, ada satu ruang batin yang biasanya cenderung terabaikan: ruang untuk bersyukur. Pendidikan, sejatinya tidak hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter. Di sinilah “jurnal syukur” dapat menjadi instrumen sederhana namun mendalam dalam menumbuhkan kesadaran diri dan memperkaya pengalaman belajar.

Jurnal syukur dalam konteks pendidikan adalah catatan harian peserta didik (dan pendidik) tentang hal-hal yang patut disyukuri selama proses belajar. Mungkin bentuknya sederhana: “Saya bersyukur bisa memahami konsep hari ini,” “Saya senang karena teman membantu menjelaskan,” atau “Saya belajar dari kesalahan dalam mengerjakan soal.” Praktik ini mendorong siswa dan guru untuk memaknai proses, bukan hanya hasil.


Mengapa penting? 

Karena dalam realitas pembelajaran, kegagalan, kebingungan, dan tekanan adalah hal yang lazim. Tanpa ruang untuk refleksi positif, peserta didik bisa terjebak dalam frustrasi dan kehilangan motivasi. Namun, dengan membiasakan menulis jurnal syukur, mereka belajar melihat sisi terang dari setiap tantangan. Mereka tidak hanya diajarkan untuk berpikir, tetapi juga untuk merasa: merasa cukup, merasa berkembang, merasa tidak sendirian.

Bagi pendidik, jurnal syukur bisa menjadi cermin batin. Di balik lelah mengajar, terkadang satu senyuman siswa, satu pemahaman kecil yang tumbuh, atau satu perubahan sikap menjadi sumber kekuatan luar biasa. Dengan mencatat hal-hal ini, guru pun terjaga semangatnya, melihat bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tetapi tentang pertumbuhan jiwa – baik siswa maupun dirinya sendiri.

Lebih dari itu, jurnal syukur mengajarkan pendidikan karakter secara alami. Ia menumbuhkan kejujuran, empati, optimisme, dan penghargaan terhadap proses. Saat siswa menuliskan rasa syukurnya karena berhasil bekerjasama dalam kelompok atau karena diberi kesempatan memperbaiki tugas, mereka sedang membangun kesadaran sosial dan emosional. Pendidikan seperti inilah yang tahan lama: membentuk pribadi utuh, bukan hanya pencetak nilai tinggi.

Dalam konteks pembelajaran Islami, menulis jurnal syukur bisa menjadi media spiritual yang lembut. Siswa diajak merefleksi bahwa ilmu adalah cahaya, dan setiap kesempatan belajar adalah anugerah dari Allah. Dalam Al-Qur’an, syukur dikaitkan langsung dengan pertambahan nikmat (QS Ibrahim: 7). Maka, ketika peserta didik dibiasakan bersyukur dalam belajar, mereka sebenarnya sedang membuka pintu keberkahan ilmu dalam hidupnya.

Implementasinya tidak sulit. Di akhir pelajaran, guru bisa menyisihkan 5 menit untuk mengajak siswa menuliskan satu hal yang mereka syukuri hari itu. Tidak perlu panjang. Yang penting, hadir dari hati. Bisa juga dijadikan bagian dari jurnal pembelajaran atau refleksi mingguan. Lambat laun, praktik ini menjadi kebiasaan yang memperkaya jiwa.

Pada akhirnya, jurnal syukur dalam pendidikan bukan hanya alat bantu refleksi, tapi jembatan antara akal dan hati. Ia mengingatkan kita bahwa belajar bukan semata mengejar nilai, tetapi menemukan makna. Dan bahwa pendidikan sejati tidak hanya mengisi pikiran, tetapi juga menata kehidupan.[ahf]

Posting Komentar untuk "JURNAL SYUKUR"