SATPAM PROFESOR
“Pendidikan sejati bukan sekadar transfer ilmu, tapi transformasi jiwa.”
fathani.com - Tak banyak kisah di dunia akademik yang dimulai dari seragam satpam, berujung di podium kehormatan seorang guru besar. Tapi kisah Prof. Dr. Iskandar Nazari, S.Ag., M.Pd., M.S.I., M.H., Ph.D.—seorang anak kampung dari pelosok Kerinci—adalah pengecualian yang menginspirasi.
Seorang anak kampung dari pelosok Kerinci—yang menempuh jalan panjang penuh peluh, hingga hari ini berdiri sebagai Guru Besar Psikologi Pendidikan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Ia bukan sekadar akademisi, tapi arsitek nilai baru dalam pendidikan: Ruhiologi, konsep ruhani sebagai fondasi semua kecerdasan.
Dari Kerinci ke Malaysia: Jalan Terjal Seorang Pejuang Ilmu
Lahir pada 24 Desember 1975 di Desa Ujung Pasir, Kerinci, Iskandar berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang guru SD yang tak sempat menyandang gelar sarjana, ibunya bahkan tak tamat sekolah dasar. Namun, nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kerja keras, dan cinta pada ilmu, menjadi warisan paling berharga. Ia menempuh pendidikan dasar sambil membantu orang tua di sawah dan pasar. Di malam hari, waktunya dihabiskan mengaji di surau—sebuah ritme hidup yang membentuk karakter ruhaniah sejak dini.
Selepas S1 dari IAIN STS Jambi, Iskandar sempat bercita-cita menjadi perwira TNI. Ia gagal di seleksi akhir karena faktor usia. Tapi kegagalan itu bukan akhir. Ia kembali ke kampung, bekerja sebagai sopir pickup dan penjual tanah. Titik baliknya terjadi saat menyaksikan sang kakak diwisuda S2. Dengan semangat membara, ia melanjutkan studi ke Universitas Negeri Padang, lalu meraih beasiswa doktoral di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Di Malaysia, Iskandar menjalani kehidupan mahasiswa penuh perjuangan. Siang kuliah, malam mengisi BBM dan menjaga kasir SPBU Petronas. Namun dalam keheningan malam itulah, ketika tubuh lelah dan pikiran bergulat dengan realitas, lahirlah benih Ruhiologi—konsep kecerdasan ruhani yang ia rumuskan sebagai poros dari seluruh dimensi kecerdasan manusia: IQ, EQ, SQ, hingga AI.
Satpam Kampus, Tapi Profesor dalam Visi
Setelah meraih gelar Ph.D. pada 2008, Iskandar kembali ke Indonesia. Di tahun 2009, ia ditunjuk menjadi Staf Ahli Rektor IAIN STS Jambi. Namun karena kendala administratif, honorariumnya ditumpangkan pada SK satpam kampus. “Saya terima, karena bagi saya, ilmu bukan soal posisi, tapi soal keberkahan,” katanya. Kalimat sederhana ini menjadi penanda penting: bahwa dalam dunia yang sering kali menilai dari jabatan, ia memilih jalan ruhani—yang menilai dari keikhlasan.
Itulah yang membuat Prof. Iskandar bukan hanya seorang akademisi, tapi juga simbol perlawanan terhadap hegemoni formalisme dalam pendidikan. Ia mengajarkan, bahwa menjadi manusia berilmu tak cukup hanya dengan nilai akademik atau akreditasi kampus. Yang lebih penting adalah ruh, arah, dan niat pendidikan itu sendiri.
Seorang anak kampung dari pelosok Kerinci—yang menempuh jalan panjang penuh peluh, hingga hari ini berdiri sebagai Guru Besar Psikologi Pendidikan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Ia bukan sekadar akademisi, tapi arsitek nilai baru dalam pendidikan: Ruhiologi, konsep ruhani sebagai fondasi semua kecerdasan.
Dari Kerinci ke Malaysia: Jalan Terjal Seorang Pejuang Ilmu
Lahir pada 24 Desember 1975 di Desa Ujung Pasir, Kerinci, Iskandar berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya seorang guru SD yang tak sempat menyandang gelar sarjana, ibunya bahkan tak tamat sekolah dasar. Namun, nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kerja keras, dan cinta pada ilmu, menjadi warisan paling berharga. Ia menempuh pendidikan dasar sambil membantu orang tua di sawah dan pasar. Di malam hari, waktunya dihabiskan mengaji di surau—sebuah ritme hidup yang membentuk karakter ruhaniah sejak dini.
Selepas S1 dari IAIN STS Jambi, Iskandar sempat bercita-cita menjadi perwira TNI. Ia gagal di seleksi akhir karena faktor usia. Tapi kegagalan itu bukan akhir. Ia kembali ke kampung, bekerja sebagai sopir pickup dan penjual tanah. Titik baliknya terjadi saat menyaksikan sang kakak diwisuda S2. Dengan semangat membara, ia melanjutkan studi ke Universitas Negeri Padang, lalu meraih beasiswa doktoral di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Di Malaysia, Iskandar menjalani kehidupan mahasiswa penuh perjuangan. Siang kuliah, malam mengisi BBM dan menjaga kasir SPBU Petronas. Namun dalam keheningan malam itulah, ketika tubuh lelah dan pikiran bergulat dengan realitas, lahirlah benih Ruhiologi—konsep kecerdasan ruhani yang ia rumuskan sebagai poros dari seluruh dimensi kecerdasan manusia: IQ, EQ, SQ, hingga AI.
Satpam Kampus, Tapi Profesor dalam Visi
Setelah meraih gelar Ph.D. pada 2008, Iskandar kembali ke Indonesia. Di tahun 2009, ia ditunjuk menjadi Staf Ahli Rektor IAIN STS Jambi. Namun karena kendala administratif, honorariumnya ditumpangkan pada SK satpam kampus. “Saya terima, karena bagi saya, ilmu bukan soal posisi, tapi soal keberkahan,” katanya. Kalimat sederhana ini menjadi penanda penting: bahwa dalam dunia yang sering kali menilai dari jabatan, ia memilih jalan ruhani—yang menilai dari keikhlasan.
Itulah yang membuat Prof. Iskandar bukan hanya seorang akademisi, tapi juga simbol perlawanan terhadap hegemoni formalisme dalam pendidikan. Ia mengajarkan, bahwa menjadi manusia berilmu tak cukup hanya dengan nilai akademik atau akreditasi kampus. Yang lebih penting adalah ruh, arah, dan niat pendidikan itu sendiri.
Ruhiologi: Menata Ulang Makna Pendidikan
Kini, Ruhiologi tak hanya menjadi konsep pribadi Prof. Iskandar. Ia telah menjelma menjadi kerangka pendidikan yang digunakan di Lembaga Diniyyah Al Azhar Jambi, dan mulai dilirik di tingkat nasional. Gagasan ini didukung para tokoh terkemuka seperti Prof. Fasli Jalal, Prof. Amin Abdullah, dan Prof. Imam Suprayogo. Ruhiologi mengajarkan bahwa pendidikan harus menanamkan nilai-nilai ruhani sebagai fondasi kecerdasan lainnya.
Dengan karya-karya seperti Psikologi Shalat Menghadapi Stres Abad 21, Desain Pembelajaran Berbasis TIK, dan Cyber Smart Campus, Prof. Iskandar menampilkan integrasi antara spiritualitas, teknologi, dan sains secara harmonis. Ia juga mendirikan Ruhiology Quotient Institute untuk mengembangkan konsep ini lebih luas.
Inspirasi bagi Siapa Pun
Kisah Prof. Iskandar adalah pelajaran hidup bagi siapa pun yang merasa kecil, terbatas, atau terpinggirkan. Bahwa keterbatasan ekonomi, geografis, bahkan status administratif tak dapat menahan laju seseorang yang memiliki visi besar dan keberanian untuk berjuang.
Lebih dari sekadar cerita "from zero to hero", ini adalah kisah bagaimana kerendahan hati bisa menjulang tinggi, bagaimana keikhlasan menjadi kekuatan, dan bagaimana ilmu bisa menjadi ibadah bila dibingkai oleh ruh yang jernih.
Dari Ilmu ke Ruh
Dalam pidatonya sebagai Guru Besar, Prof. Iskandar menutup dengan pantun:
“Tanpa ruh, ilmu bisa menyimpang,
Dengan ruh, kecerdasan jadi amanah yang nyata.
Jika pendidikan hanya mengejar angka,
Maka kosonglah makna manusia.”
Dan memang, dunia hari ini tak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang berjiwa. Prof. Iskandar mengingatkan kita bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya mencetak manusia cerdas, tapi manusia utuh—yang tahu arah, memiliki makna, dan menjalani hidup dengan ruh.
Satpam Profesor bukan sekadar kisah inspiratif. Ia adalah tamparan halus bagi dunia akademik yang terlalu sibuk menghitung angka, melupakan nilai-nilai. Di tengah zaman yang kian canggih, barangkali Ruhiologi adalah jalan pulang—menuju pendidikan yang kembali ke jiwa.
Satpam Profesor adalah kisah nyata tentang transformasi. Bahwa di dunia yang seringkali terlalu cepat menghakimi dari gelar dan posisi, ada seorang manusia yang diam-diam membangun jalan ruhani menuju langit ilmu.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari inspirasi sang “Satpam Profesor” ini. Semoga. [ahf]
Kini, Ruhiologi tak hanya menjadi konsep pribadi Prof. Iskandar. Ia telah menjelma menjadi kerangka pendidikan yang digunakan di Lembaga Diniyyah Al Azhar Jambi, dan mulai dilirik di tingkat nasional. Gagasan ini didukung para tokoh terkemuka seperti Prof. Fasli Jalal, Prof. Amin Abdullah, dan Prof. Imam Suprayogo. Ruhiologi mengajarkan bahwa pendidikan harus menanamkan nilai-nilai ruhani sebagai fondasi kecerdasan lainnya.
Dengan karya-karya seperti Psikologi Shalat Menghadapi Stres Abad 21, Desain Pembelajaran Berbasis TIK, dan Cyber Smart Campus, Prof. Iskandar menampilkan integrasi antara spiritualitas, teknologi, dan sains secara harmonis. Ia juga mendirikan Ruhiology Quotient Institute untuk mengembangkan konsep ini lebih luas.
Inspirasi bagi Siapa Pun
Kisah Prof. Iskandar adalah pelajaran hidup bagi siapa pun yang merasa kecil, terbatas, atau terpinggirkan. Bahwa keterbatasan ekonomi, geografis, bahkan status administratif tak dapat menahan laju seseorang yang memiliki visi besar dan keberanian untuk berjuang.
Lebih dari sekadar cerita "from zero to hero", ini adalah kisah bagaimana kerendahan hati bisa menjulang tinggi, bagaimana keikhlasan menjadi kekuatan, dan bagaimana ilmu bisa menjadi ibadah bila dibingkai oleh ruh yang jernih.
Dari Ilmu ke Ruh
Dalam pidatonya sebagai Guru Besar, Prof. Iskandar menutup dengan pantun:
“Tanpa ruh, ilmu bisa menyimpang,
Dengan ruh, kecerdasan jadi amanah yang nyata.
Jika pendidikan hanya mengejar angka,
Maka kosonglah makna manusia.”
Dan memang, dunia hari ini tak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang berjiwa. Prof. Iskandar mengingatkan kita bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya mencetak manusia cerdas, tapi manusia utuh—yang tahu arah, memiliki makna, dan menjalani hidup dengan ruh.
Satpam Profesor bukan sekadar kisah inspiratif. Ia adalah tamparan halus bagi dunia akademik yang terlalu sibuk menghitung angka, melupakan nilai-nilai. Di tengah zaman yang kian canggih, barangkali Ruhiologi adalah jalan pulang—menuju pendidikan yang kembali ke jiwa.
Satpam Profesor adalah kisah nyata tentang transformasi. Bahwa di dunia yang seringkali terlalu cepat menghakimi dari gelar dan posisi, ada seorang manusia yang diam-diam membangun jalan ruhani menuju langit ilmu.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari inspirasi sang “Satpam Profesor” ini. Semoga. [ahf]
Posting Komentar untuk "SATPAM PROFESOR"
Posting Komentar