AL-GHAZALI DAN LOGIKA FUZZY (FATHANI, 2013)

 

“Al-Ghazali memberi fondasi normatif, logika fuzzy menawarkan kerangka matematis; keduanya bertemu dalam harmoni ilmu yang utuh.”

fathani.com. – Dikotomi antara ilmu agama dan ilmu modern sekuler telah lama menjadi isu krusial dalam wacana pendidikan Islam. Di satu sisi, ilmu pengetahuan modern dengan segala capaian teknologinya sering berkembang dalam bingkai sekularisme yang cenderung mengabaikan dimensi spiritual. Di sisi lain, tradisi keilmuan Islam kerap terjebak dalam pendekatan normatif yang kurang bersentuhan dengan dinamika sains kontemporer. Buku Integrasi Ilmu: Perspektif Al-Ghazali dalam Analisis Logika Fuzzy karya Abdul Halim Fathani hadir sebagai ikhtiar intelektual untuk menjembatani dua arus besar tersebut.

Dengan perspektif Imam al-Ghazali, penulis menguraikan klasifikasi ilmu ke dalam fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Klasifikasi ini dipahami bukan hanya sebagai pembagian hukum, tetapi sebagai kerangka epistemologis yang menegaskan bahwa seluruh ilmu pada hakikatnya bersumber dari Allah dan ditujukan untuk kemaslahatan manusia.

Pandangan ini kemudian dihubungkan dengan konsep logika fuzzy yang diperkenalkan Lotfi Zadeh pada tahun 1965. Berbeda dengan logika klasik yang hanya mengenal benar–salah, ya–tidak, atau 0–1, logika fuzzy memperkenalkan spektrum nilai di antara keduanya. Dalam logika fuzzy, kebenaran bisa memiliki derajat: 0,2; 0,5; atau 0,8. Misalnya, seseorang dengan tinggi 169 cm tidak sepenuhnya “pendek” atau “tinggi”, melainkan dapat dikategorikan “cukup tinggi” dengan kadar tertentu. 

Analogi ini digunakan Fathani untuk menunjukkan bahwa ilmu juga tidak dapat dipisahkan secara kaku. Seperti halnya logika fuzzy yang mengakui rentang nilai, al-Ghazali menolak dikotomi hitam-putih antara ilmu agama dan ilmu dunia. Seluruh cabang ilmu, meskipun berbeda orientasi, tetap merupakan satu kesatuan yang berporos pada Sang Pencipta.

 

Buku ini tidak hanya menyajikan gagasan abstrak, tetapi juga menghadirkan contoh implementasi nyata. Salah satunya adalah kurikulum –tahun 2006- Jurusan Matematika di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang divisualisasikan melalui metafora “Pohon Ilmu”. Dalam model ini, akar dan batang keilmuan agama berfungsi sebagai fondasi spiritual, sedangkan cabang dan ranting mewakili disiplin-disiplin ilmu modern. Daun dan buahnya adalah keluaran berupa lulusan yang menguasai sains sekaligus berkarakter religius. 

Dengan demikian, ketika mahasiswa mempelajari kalkulus, aljabar, analisis, statistika, atau yang lain, mereka tidak hanya berhadapan dengan konsep abstrak, tetapi juga diajak merenungkan keteraturan alam sebagai tanda kebesaran Tuhan. Kurikulum ini menunjukkan bahwa integrasi ilmu dapat diwujudkan secara institusional, bukan hanya berhenti sebagai slogan.

Penguatan dari gagasan ini terletak pada keterpaduan antara filsafat keilmuan al-Ghazali dan paradigma logika fuzzy. Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu apa pun pada akhirnya harus bermuara pada penguatan iman dan pengabdian kepada Allah, sehingga tidak relevan jika ilmu dipisahkan secara dikotomis antara agama dan dunia. 

Sementara itu, logika fuzzy memberi landasan matematis bahwa kebenaran tidak bersifat absolut biner, tetapi memiliki derajat yang menampung keragaman perspektif. Dengan menyatukan keduanya, kurikulum matematika UIN Malang tidak hanya menghasilkan penguasaan intelektual, tetapi juga membentuk kesadaran spiritual bahwa ilmu dapat berfungsi ganda: sebagai alat analisis rasional sekaligus sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dengan kata lain, model “Pohon Ilmu” menjadi representasi konkret bagaimana paradigma integrasi ala al-Ghazali dan pendekatan logika fuzzy bekerja secara bersamaan. Al-Ghazali memberikan fondasi normatif bahwa ilmu adalah satu kesatuan, sementara logika fuzzy menyediakan bahasa matematis untuk menjelaskan kompleksitas realitas yang tidak selalu hitam-putih. Keduanya bertemu dalam desain kurikulum yang berusaha mencetak cendekiawan muslim yang utuh: menguasai sains, berakhlak, serta mampu mengaplikasikan ilmunya untuk kemaslahatan umat.

Namun, secara metodologis, buku ini masih menyajikan logika fuzzy pada tingkat pengantar. Bagi pembaca yang menginginkan uraian teknis mendalam, penjelasan yang diberikan mungkin terasa terbatas. Meski demikian, keterbatasan tersebut justru menjadikan buku ini relevan sebagai pintu masuk yang ramah, baik bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat umum yang ingin memahami integrasi ilmu dalam konteks keislaman dan keilmuan modern.

Alhasil, buku ini penting karena menawarkan alternatif paradigma bagi dunia pendidikan Islam kontemporer: ilmu tidak lagi dipandang sebagai wilayah yang terpecah antara agama dan sains, melainkan sebagai satu kesatuan yang hidup, dinamis, dan saling melengkapi. Di tengah tantangan globalisasi ilmu pengetahuan, gagasan Abdul Halim Fathani memberi arah baru bagi terciptanya generasi muslim yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kokoh secara spiritual. [ahf]

 
Identitas Buku:

Judul: Integrasi Ilmu: Perspektif Al-Ghazali dalam Analisis Logika Fuzzy
Penulis: Abdul Halim Fathani
Penerbit: Genius Media, Malang
Cetakan: I, 2013
Tebal: x + 100 halaman
ISBN: 978-602-18627-0-4

Posting Komentar untuk "AL-GHAZALI DAN LOGIKA FUZZY (FATHANI, 2013)"