PENDIDIKAN TANPA-BATAS

“Pendidikan tanpa-batas bukan berarti tanpa-arah; nilai dan etika adalah kompas yang menuntunnya.”

fathani.com. – Pendidikan manusia pada hakikatnya tidak pernah berhenti. Ia berlangsung di ruang kelas, di perpustakaan, di rumah, bahkan di pesantren. Namun kini, pendidikan melampaui batas ruang dan waktu. Melalui internet, ilmu pengetahuan dapat diakses kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun. Inilah wajah baru pendidikan: tanpa-batas.

Fenomena ini membawa peluang besar. Internet memungkinkan demokratisasi pengetahuan. Sumber daya belajar yang dulu hanya dimiliki kalangan terbatas, kini terbuka luas. Dari jurnal ilmiah, kitab klasik, hingga tutorial praktis, semua tersedia dalam genggaman. Santri di pesantren dapat mengakses tafsir digital. Siswa di pelosok desa dapat mengikuti kuliah daring di universitas dunia. Untuk pekerja dapat memperdalam keterampilan lewat kursus online.

Namun, pendidikan tanpa-batas juga memiliki sisi gelap. Arus informasi di internet tidak selalu menyajikan ilmu yang valid. Hoaks, misinformasi, dan konten negatif kerap menyusup di antara pengetahuan yang bermanfaat. Alih-alih mencerahkan, internet bisa menjerumuskan jika tidak diimbangi literasi kritis. Fenomena “information overload” juga membuat pelajar kewalahan membedakan yang esensial dari yang sekadar viral.

Tantangan inilah yang menuntut sikap bijak. Kita tidak bisa menolak hadirnya internet dalam pendidikan, tetapi kita perlu membekali generasi muda dengan keterampilan literasi digital, kemampuan memilih, memverifikasi, dan mengolah informasi dengan benar. Sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang penguatan kompetensi ini.


Islam telah memberi pedoman. Al-Qur’an mengingatkan, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43). Ayat ini menegaskan pentingnya otoritas ilmu: tidak semua yang kita temui layak dijadikan pegangan. Hadis Nabi juga menyebut, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa belajar adalah ibadah, namun tetap harus dilakukan dengan jalan yang benar.

Dalam konteks Indonesia, Ki Hajar Dewantara sudah jauh hari menekankan filosofi “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Filosofi ini tetap relevan dalam pendidikan era digital: guru, orang tua, dan tokoh masyarakat harus menjadi teladan, penggerak, dan pemberi dorongan agar peserta didik tidak tersesat dalam derasnya arus informasi.

Tradisi Islam juga menegaskan pentingnya ilmu yang benar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa ilmu ibarat cahaya yang menuntun hati dan akal. Jika cahaya itu diambil dari sumber yang salah, ia justru menjerumuskan. Analogi ini semakin nyata di era internet, cahaya pengetahuan bisa terang, tapi juga bisa membutakan bila tidak difilter dengan kebijaksanaan.

Dengan demikian, pendidikan tanpa-batas bukan berarti tanpa-arah. Kita perlu menyeimbangkan keterbukaan internet dengan nilai kritis, etika, dan spiritualitas. Guru, orang tua, dan ulama memiliki peran penting sebagai penuntun. Internet adalah ladang luas; tugas kita adalah menanam benih ilmu yang benar, menyaring hama informasi yang menyesatkan, dan memetik buah kebijaksanaan untuk generasi mendatang.

Pendidikan tanpa-batas hanyalah sarana. Tujuan sejatinya tetap sama: mencetak insan berilmu yang berakhlak. Dengan panduan wahyu, tradisi keilmuan, dan literasi digital, kita bisa menjadikan internet bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga madrasah besar yang menumbuhkan peradaban.[ahf]


Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN TANPA-BATAS"