SANTRI MATEMATIKA
"Al-Qur’an, hadis, dan matematika adalah tiga cahaya yang berpadu dalam jiwa santri.”
fathani.com. – Dalam perjalanan panjang sejarah ilmu, matematika selalu menempati posisi sentral sebagai bahasa universal pengetahuan. Hampir semua cabang ilmu pengetahuan modern berakar pada struktur dan logika matematika. Ia adalah bahasa keteraturan semesta yang diciptakan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran yang tepat” (QS. Al-Qamar: 49). Maka, belajar matematika sejatinya dapat menjadi sarana taqarrub ilallah, jalan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Di pesantren, Al-Qur’an dan hadis menjadi pusat pembelajaran. Ketika matematika disandingkan dengan dua sumber utama ini, ilmu tidak lagi sekadar instrumen karier atau alat hitung, melainkan bagian dari ibadah. Rumus dan pola bilangan dipahami sebagai cermin keteraturan kosmos. Paradigma ini melahirkan sosok yang bisa disebut “santri matematika”: peserta didik yang menjadikan integrasi ilmu agama dan ilmu eksakta sebagai pijakan dalam meniti hidup.
Pandangan ini bukan hal baru. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menekankan bahwa ilmu seharusnya membawa manusia pada pengenalan Allah. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menempatkan ilmu eksakta, termasuk matematika, sebagai fardhu kifayah—ilmu yang wajib dikembangkan demi kemaslahatan umat. Sementara itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas, pemikir pendidikan kontemporer, menegaskan pentingnya integrasi ilmu duniawi dan ukhrawi agar lahir manusia beradab. Semua pandangan ini meneguhkan dasar teologis sekaligus filosofis bagi hadirnya generasi santri matematika.
Kisah nyata pun memperlihatkan relevansi gagasan ini. Di SMP Nuris Jember, seorang santri bernama Muhammad Sofyan Mubarok berhasil meraih medali emas Olimpiade Matematika tingkat nasional pada ajang Kejuaraan Sains Pelajar Indonesia (KSPI). Prestasi itu dicapai di tengah aktivitas padatnya sebagai santri, mulai dari hafalan Al-Qur’an hingga kajian kitab. Sofyan mengaku menyukai matematika karena menantang logika tanpa harus banyak menghafal. Baginya, menghafal surat Ar-Rahman dan memecahkan soal integral sama-sama bentuk ibadah: satu menguatkan hati, yang lain menajamkan nalar (https://radarjember.jawapos.com).
Kisah Sofyan menunjukkan bahwa ilmu agama dan sains tidak bertentangan, justru saling melengkapi. Seorang santri bisa sekaligus menjadi penghafal Al-Qur’an dan juara olimpiade matematika. Inilah wujud ideal ulul albab—mereka yang mampu menggabungkan dzikir dan pikir, kedalaman spiritual dan keluasan intelektual.
Idealisme santri matematika tidak berhenti pada prestasi akademik. Lebih dari itu, ia menempatkan ilmu sebagai jalan ibadah. Ketika menghitung, ia berdzikir. Ketika menalar logika, ia menata hati agar semakin tunduk pada Allah. Dengan cara ini, Al-Qur’an, hadis, dan matematika menjadi satu kesatuan integratif yang membimbing manusia menuju kesadaran sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
Santri matematika adalah potret ideal generasi masa depan Indonesia. Mereka berakar pada nilai-nilai agama, menguasai ilmu pengetahuan, dan berorientasi pada kemaslahatan. Dari ruang-ruang pesantren, lahir insan ulul albab yang tidak hanya cerdas berhitung, tetapi juga arif membaca tanda-tanda kebesaran Allah di balik setiap hitungan.[ahf]
Posting Komentar untuk "SANTRI MATEMATIKA"
Posting Komentar