LITERASI WAKTU
"Kita tidak bisa menambah waktu, tapi kita bisa memperluas maknanya,
melalui belajar, bertumbuh, dan berbagi."
fathani.com. – “Semua orang punya waktu 24 jam dalam sehari.” Kalimat ini sering kita dengar sebagai pengingat terkait dengan keadilan waktu. Namun di balik kesederhanaan frasa itu, tersembunyi realitas yang kompleks: tidak semua orang mampu memanfaatkan waktu yang sama dengan hasil yang sama—terutama dalam dunia pendidikan.
Dalam era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, pertanyaan pentingnya bukan lagi “Berapa lama waktu belajar yang kita miliki?” tetapi “Bagaimana kita menggunakan 24 jam itu untuk benar-benar belajar?”
Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, kurikulum, atau nilai ujian—tetapi tentang bagaimana peserta didik memaknai dan mengelola waktu belajarnya secara mandiri. Dalam konteks ini, manajemen waktu menjadi keterampilan esensial abad ke-21. Tony Buzan (2010) dalam teorinya tentang learning how to learn menekankan bahwa peserta didik yang memiliki kontrol terhadap waktu belajarnya cenderung memiliki motivasi intrinsik yang lebih tinggi, hasil belajar yang lebih baik, dan rasa percaya diri yang lebih stabil.
Sayangnya, survei dari OECD (2023) menunjukkan bahwa peserta didik di negara berkembang cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk tugas-tugas administratif atau kegiatan pasif (seperti menonton video pembelajaran) dibandingkan waktu untuk berpikir kritis, eksplorasi kreatif, atau berdiskusi. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun alokasi waktunya cukup, kualitas pemanfaatannya masih belum bisa optimal.
Dalam praktiknya, waktu 24 jam yang dimiliki setiap individu tidak pernah benar-benar “setara.” Peserta didik yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah mungkin harus membantu pekerjaan rumah, bekerja paruh waktu, atau menghadapi keterbatasan akses terhadap teknologi dan internet. Di sisi lain, peserta didik dari kelompok yang lebih beruntung bisa memiliki lingkungan belajar yang kondusif, bimbingan tambahan, bahkan mengikuti kursus atau pengembangan diri lainnya.
Lebih dari itu, kehadiran teknologi juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, platform seperti YouTube Edu, Ruangguru, hingga Google Scholar membuka pintu akses informasi seluas-luasnya. Namun di sisi lain, aplikasi media sosial bisa menguras waktu tanpa sadar. Penelitian dari Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa remaja menghabiskan rata-rata 7 jam per hari di depan layar, tetapi hanya 20% dari waktu itu digunakan untuk aktivitas edukatif.
Salah satu tantangan terbesar dalam pendidikan saat ini adalah membangun kesadaran waktu di kalangan peserta didik, bukan hanya mengisi waktu mereka dengan aktivitas. Pendidikan karakter perlu menanamkan konsep self-directed learning—belajar yang didorong oleh kesadaran diri, bukan karena tekanan eksternal.
Penerapan strategi seperti time blocking atau jurnal reflektif harian dalam lingkungan sekolah dapat menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Guru bukan hanya dituntut mengajar mata pelajaran, tetapi juga menanamkan nilai pentingnya pengelolaan waktu sebagai bagian dari kompetensi hidup.
Sekolah idealnya menjadi “laboratorium waktu”—tempat peserta didik belajar bukan hanya matematika dan bahasa, tetapi juga bagaimana menyusun jadwal, mengelola prioritas, dan menentukan kapan harus istirahat. Bahkan kegiatan ekstrakurikuler pun semestinya diarahkan untuk membentuk ritme hidup yang sehat dan produktif, bukan sekadar mengisi waktu kosong.
Sebagai contoh, sekolah yang menerapkan project-based learning cenderung memberi ruang lebih besar bagi peserta didik untuk mengatur alur kerja dan waktu mereka sendiri. Dalam model ini, guru berperan sebagai fasilitator, bukan hanya penyampai materi. Ini sejalan dengan pendekatan pendidikan konstruktivistik yang menekankan peran aktif peserta didik dalam membangun pengetahuan melalui pengalaman dan refleksi.
Dalam dunia yang terus berubah, literasi waktu harus diperlakukan sama pentingnya dengan literasi baca-tulis dan numerasi. Jika anak-anak kita tidak diajarkan cara memaknai dan mengelola 24 jam yang mereka miliki, maka kita tengah mencetak generasi yang aktif tetapi tidak produktif, sibuk tetapi tidak bermakna.
Setiap hari adalah lembar kosong yang menunggu diisi. Pertanyaannya: apakah 24 jam itu akan menjadi investasi masa depan atau hanya sekadar rutinitas yang berlalu begitu saja? Jawabannya bergantung pada bagaimana dunia pendidikan memperlakukan waktu—bukan sebagai durasi, tetapi sebagai kesempatan. [ahf]
Posting Komentar untuk "LITERASI WAKTU"
Posting Komentar