SANTRI DIGITAL
“Santri digital adalah jembatan antara warisan hikmah dan tantangan zaman.”
fathani.com. – Di masa lalu, gambaran tentang santri selalu identik dengan sarung, peci, kitab kuning, dan lingkungan pesantren yang sederhana. Mereka belajar dengan cara tradisional, menjunjung tinggi adab, dan menjadi penjaga nilai-nilai keislaman melalui pendekatan klasik. Namun, kini dunia berubah. Revolusi digital tidak hanya memengaruhi ekonomi dan komunikasi, tapi juga cara manusia belajar, berpikir, dan menyampaikan keyakinan. Di tengah perubahan itu, lahirlah generasi baru yang kita sebut santri digital.
Santri digital adalah cermin dari perpaduan dua dunia: religiusitas dan teknologi. Mereka tetap mengaji di pondok, tetap menghormati kiai, namun juga mahir menggunakan teknologi digital untuk berdakwah, berdiskusi, dan menyuarakan nilai-nilai Islam ke ruang publik yang lebih luas. Mereka memanfaatkan media sosial, podcast, YouTube, bahkan AI untuk menyampaikan dakwah yang humanis, inklusif, dan sesuai konteks zaman. Di tangan mereka, Islam tidak hanya diwariskan, tapi juga ditafsirkan ulang dalam bahasa yang bisa dipahami generasi masa kini.
Transformasi ini membuka ruang baru bagi pesantren untuk hadir di dunia digital tanpa kehilangan identitasnya. Bahkan, banyak pondok pesantren kini mulai mengembangkan unit media digital, studio konten, dan pelatihan teknologi sebagai bagian dari kurikulum mereka. Fenomena ini membuktikan bahwa pesantren tidak alergi terhadap inovasi. Justru, mereka mulai menjadikan teknologi sebagai bagian dari strategi dakwah yang lebih luas, inklusif, dan adaptif.
Santri digital adalah sosok yang memiliki dua bentuk literasi sekaligus: literasi keagamaan dan literasi digital. Literasi keagamaan membuat mereka mampu memahami teks-teks suci, menafsirkan ajaran, dan menjaga nilai-nilai kearifan Islam. Sementara literasi digital memungkinkan mereka menyampaikan pesan-pesan keislaman secara efektif di ruang digital yang serba cepat dan penuh distraksi.
Namun, memiliki dua literasi ini bukan tanpa tantangan. Dunia digital bukan ruang netral. Ia adalah medan yang penuh dengan konten provokatif, narasi ekstremis, hingga hoaks keagamaan. Santri digital harus mampu menjadi filter di tengah banjir informasi, bukan hanya menjadi penggemar atau pengikut. Mereka harus berpikir kritis, mengedepankan etika, dan menghindari fanatisme yang membutakan.
Di sinilah pentingnya pembinaan literasi digital kritis di pesantren. Santri bukan hanya diajarkan mengaji dan berdakwah, tetapi juga dibimbing untuk memahami algoritma media sosial, prinsip desain komunikasi visual, etika berinternet, hingga cara memverifikasi informasi. Tanpa ini, santri justru bisa terjebak dalam polarisasi dan penyebaran informasi yang salah atas nama agama.
Salah satu kekuatan utama santri digital adalah kemampuannya menjembatani tradisi dan inovasi. Mereka menghormati otoritas keilmuan klasik, tetapi juga terbuka pada pembaruan. Mereka tidak menganggap teknologi sebagai ancaman terhadap agama, melainkan sebagai sarana untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang ramah, moderat, dan rahmatan lil ‘alamin.
Ini pula yang membuat santri digital berbeda dari figur agama yang hanya memanfaatkan media sosial sebagai panggung popularitas. Santri digital memegang prinsip sanad keilmuan yang jelas, akhlak dalam bermedia, dan tanggung jawab sosial dalam berdakwah. Mereka tahu bahwa setiap konten yang diproduksi bisa membentuk cara orang berpikir dan bertindak. Karenanya, mereka lebih berhati-hati, lebih reflektif, dan lebih bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, santri digital bukan hanya pewaris tradisi, tapi juga inovator moral. Mereka menjadi jembatan antara generasi tua dan muda, antara pesantren dan masyarakat luas, antara teks dan konteks.
Ke depan, peran santri digital akan semakin vital. Mereka akan menjadi aktor penting dalam membentuk wajah Islam di era pasca-truth, di mana orang tidak lagi mencari kebenaran, tetapi konfirmasi atas keyakinannya. Santri digital perlu hadir sebagai penyeimbang narasi, sebagai pengusung moderasi, dan sebagai penyampai nilai-nilai yang tidak hanya benar secara teks, tetapi juga bijak secara konteks.
Kita tidak bisa berharap masyarakat menjadi cerdas secara keagamaan jika aktor-aktor penyampai pesan masih gagap teknologi. Di sinilah investasi besar perlu dilakukan: memperkuat kapasitas digital pesantren, memperluas akses teknologi, dan mengembangkan kurikulum yang mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu digital secara harmonis.
Zaman memang berubah, dan cara belajar pun berubah. Tapi selama semangat mencari ilmu, menjaga akhlak, dan menyebarkan kebaikan tetap menjadi nyawa dari pendidikan pesantren, maka santri akan selalu relevan. Dengan bantuan teknologi, santri tidak hanya akan bertahan, tapi akan memimpin arah baru pendidikan dan dakwah Islam yang lebih cerdas, adaptif, dan berdaya ubah.[ahf]
Posting Komentar untuk "SANTRI DIGITAL"
Posting Komentar