FILSAFAT PENDIDIKAN
“Filsafat pendidikan mengajarkan bahwa belajar bukan hanya tentang apa yang kita ketahui, tetapi juga bagaimana kita mengetahuinya, dan untuk apa ilmu itu dijalankan.”
fathani.com. – Pendidikan selalu menjadi denyut nadi peradaban. Dari sekolah sederhana di desa, hingga universitas ternama di kota besar, pendidikan dipandang sebagai jalan menuju masa depan yang lebih baik. Namun, biasanya kita terjebak pada hal-hal teknis: kurikulum, metode belajar, hingga fasilitas. Kita jarang berhenti sejenak untuk merenungkan pertanyaan mendasar: apa hakikat pendidikan itu? bagaimana pengetahuan diperoleh? dan untuk tujuan apa pendidikan dilakukan?
Pertanyaan ini bukan sekadar akademik. Ia menyentuh inti peradaban kita. Jika pendidikan dipahami secara dangkal, hasilnya pun dangkal. Sebaliknya, jika pendidikan diletakkan pada fondasi filsafat yang kokoh, maka ia akan melahirkan generasi yang berilmu, beriman, dan berakhlak.
Di sinilah filsafat pendidikan hadir. Tiga aspek pokoknya, yakni: ontologi, epistemologi, dan aksiologi,menjadi pintu untuk memahami pendidikan secara utuh.
Ontologi: Hakikat Pendidikan
Ontologi bertanya tentang “ada”: apa hakikat pendidikan itu sendiri?
Bagi sebagian orang, pendidikan hanya dilihat sebagai transfer ilmu dari guru ke murid. Namun, lebih dalam dari itu, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Ki Hajar Dewantara menegaskan, pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Dalam perspektif Islam, pendidikan bukan sekadar akademik, melainkan bagian dari misi penciptaan manusia. Al-Qur’an menegaskan: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Ayat ini memberi gambaran bahwa tujuan dasar manusia adalah beribadah kepada Allah. Maka, hakikat pendidikan (ontologi) dalam Islam adalah mengantarkan manusia agar dapat mengenal Tuhannya, sekaligus mengembangkan seluruh potensi dirinya sebagai hamba.
Proses pendidikan dalam Islam bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menyempurnakan akhlak. Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, hakikat pendidikan tidak bisa dilepaskan dari misi spiritual: membentuk manusia yang berilmu sekaligus beradab.
Epistemologi: Cara Memperoleh Pengetahuan
Epistemologi adalah pertanyaan tentang bagaimana kita tahu. Apa sumber pengetahuan? Bagaimana cara kita memastikan sesuatu itu benar?
Dalam tradisi pendidikan modern, metode memperoleh pengetahuan bisa beragam: ceramah, diskusi, penelitian, hingga eksperimen. Namun, dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, pengetahuan diperoleh melalui tiga jalan utama: wahyu, akal, dan pengalaman indrawi.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya menggunakan akal dan berpikir kritis: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 190)
Ayat ini mengajarkan bahwa mengamati alam dan fenomena kehidupan adalah jalan untuk memperoleh ilmu. Dengan akal, manusia diminta untuk menafsirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta).
Selain akal dan indera, sumber utama pengetahuan adalah wahyu. Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk hidup, bukan hanya aturan ibadah, tetapi juga pedoman berpikir. Allah berfirman: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2)
Dengan demikian, epistemologi pendidikan Islam bersifat seimbang: rasional, empiris, sekaligus spiritual. Ia menolak reduksi pengetahuan hanya pada data empiris semata, atau sekadar logika tanpa nilai.
Dalam praktik pendidikan, epistemologi ini berarti proses belajar tidak boleh hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan reflektif. Guru bukan sekadar sumber informasi, melainkan fasilitator yang membimbing siswa mencari kebenaran. Di era digital, epistemologi menjadi semakin penting: banjir informasi tanpa kemampuan kritis hanya akan menimbulkan kebingungan.
Aksiologi: Nilai dan Tujuan Pendidikan
Aksiologi membahas tentang nilai: untuk apa pendidikan dilakukan?
Jika pendidikan hanya dimaknai sebagai jalan menuju pekerjaan, maka terlalu sempitlah maknanya. Pendidikan sejati harus memiliki tujuan moral, sosial, dan spiritual.
Al-Qur’an memberi gambaran tentang misi besar manusia: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia dididik agar mampu menjalankan peran sebagai khalifah: memelihara, mengatur, dan membawa kemaslahatan di bumi. Maka, aksiologi pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bertanggung jawab.
Ilmu yang dipelajari tidak boleh berhenti pada tataran kognitif. Ia harus berbuah pada amal dan kebajikan. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Artinya, pendidikan yang tidak menumbuhkan manfaat sosial kehilangan makna sejatinya. Ilmu tanpa nilai bisa berbahaya: teknologi yang canggih bisa berubah menjadi senjata pemusnah massal jika digunakan tanpa etika.
Dalam kerangka Islam, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai keimanan, keadilan, kejujuran, dan kasih sayang. Dengan itu, ilmu menjadi sarana untuk memperbaiki kehidupan, bukan menghancurkannya.
Menyatukan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ketiga aspek filsafat ini tidak bisa dipisahkan. Ontologi menjawab pertanyaan apa pendidikan itu? Epistemologi menjawab bagaimana pengetahuan diperoleh? Aksiologi menjawab untuk apa pendidikan dijalankan?
Tanpa ontologi, pendidikan kehilangan jati diri. Tanpa epistemologi, pendidikan kehilangan metode. Tanpa aksiologi, pendidikan kehilangan arah.
Dalam Islam, ketiganya menyatu dalam satu visi: membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Al-Qur’an menegaskan hubungan antara iman, ilmu, dan amal dalam satu ayat: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa iman dan ilmu adalah dua pilar utama pendidikan, yang pada akhirnya harus membuahkan amal dan manfaat bagi kehidupan.
Refleksi
Di era globalisasi dan digitalisasi, filsafat pendidikan menjadi semakin penting. Pendidikan kita sering terjebak pada formalitas: mengejar nilai ujian, ranking, atau akreditasi. Padahal, yang lebih penting adalah memastikan pendidikan tetap setia pada hakikatnya: memanusiakan manusia.
Dengan ontologi, kita diingatkan bahwa pendidikan adalah jalan ibadah dan pembentukan akhlak. Dengan epistemologi, kita belajar bahwa pengetahuan harus diperoleh dengan cara yang benar, menggabungkan akal, pengalaman, dan wahyu. Dengan aksiologi, kita diarahkan agar ilmu yang dipelajari bermanfaat, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan.
Filsafat pendidikan bukan sekadar wacana abstrak. Ia adalah cermin untuk melihat apakah pendidikan kita sedang berada di jalur yang benar. Perspektif Islam memperkaya filsafat pendidikan dengan memberi fondasi spiritual yang kokoh. Pendidikan bukan sekadar proyek duniawi, tetapi juga jalan menuju kebermaknaan hidup sebagai hamba dan khalifah Allah.
Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, filsafat pendidikan mengingatkan kita: tujuan akhirnya bukan hanya mencetak generasi pintar, melainkan generasi yang bijak, beriman, dan berakhlak mulia. Dengan demikian, pendidikan akan benar-benar menjadi cahaya yang menerangi kehidupan.[ahf]
Posting Komentar untuk "FILSAFAT PENDIDIKAN"
Posting Komentar