LITERASI BUKU

“Membaca buku bukan sekadar mengisi kepala, tetapi menyalakan jiwa agar terus mencari kebenaran.”

fathani.com. – Buku sering disebut sebagai jendela dunia. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah: buku itu hakikatnya apa? Buku bukan sekadar tumpukan kertas dengan huruf-huruf tercetak, melainkan medium yang merekam gagasan, pengalaman, dan peradaban manusia. Di dalam buku, ada alur waktu yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan; ada jejak pemikiran yang melampaui usia penulisnya; ada ruang refleksi yang tak terbatas bagi pembacanya. Dengan kata lain, buku adalah wadah ingatan kolektif manusia.

Lantas, bagaimana seharusnya kita memperlakukan buku? Buku tidak cukup hanya disimpan di rak, dipajang di perpustakaan, atau dijadikan koleksi. Ia harus dibaca, direnungkan, dan didialogkan dengan kehidupan nyata. Membaca buku sejatinya bukan aktivitas pasif, melainkan perjumpaan antara pikiran penulis dengan pikiran pembaca. Dalam perjumpaan itulah lahir pemahaman baru, bahkan ide-ide yang bisa mengubah arah hidup seseorang. Maka, memperlakukan buku berarti juga menghargai pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Buku telah memberi kontribusi besar bagi perjalanan manusia. Sejarah peradaban membuktikan, setiap loncatan besar dalam ilmu pengetahuan, seni, maupun filsafat, tidak lepas dari buku. Revolusi ilmu pengetahuan di Eropa ditopang oleh percetakan yang memperluas akses buku. Kebangkitan bangsa-bangsa modern juga dipacu oleh semangat literasi buku yang melahirkan generasi kritis. Bahkan, agama-agama besar dunia pun diwariskan melalui kitab suci yang menjaga kelestarian ajaran.


Namun, literasi buku tidak hanya berarti kemampuan membaca. Literasi buku adalah kemampuan memahami, menafsirkan, mengkritisi, dan menginternalisasi isi buku ke dalam kehidupan. Orang yang sekadar bisa membaca teks belum tentu literat, sebab literasi sejati menuntut pemahaman mendalam dan kebijaksanaan dalam menggunakan ilmu. Literasi buku juga melibatkan keberanian untuk memilih bacaan yang bermanfaat, memilah informasi yang sehat, serta menolak bacaan yang menyesatkan.

Dalam dunia digital, posisi buku sering dipertanyakan: masihkah relevan ketika informasi bisa diakses dengan cepat melalui layar gawai? Justru di sinilah literasi buku menemukan urgensinya. Buku menawarkan kedalaman yang tidak selalu ada dalam bacaan singkat di media sosial. Membaca buku melatih kesabaran intelektual, ketekunan berpikir, dan keutuhan pemahaman. Buku adalah lawan dari budaya instan yang hanya mengejar ringkasan tanpa substansi.

Literasi buku juga membentuk karakter manusia. Dari membaca, kita belajar empati, karena kita diajak menyelami pengalaman orang lain. Dari membaca, kita belajar kritis, karena kita berhadapan dengan keragaman sudut pandang. Dari membaca pula, kita belajar merendah, sebab menyadari luasnya lautan ilmu yang tidak mungkin kita kuasai seluruhnya.

Alhasil, literasi buku sejatinya adalah literasi kehidupan. Buku bukan sekadar benda, melainkan guru yang diam. Buku adalah jembatan antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia.

Sebagaimana dikatakan oleh Jorge Luis Borges, “Saya selalu membayangkan surga itu sebuah perpustakaan.” Jika demikian, maka memperkuat literasi buku berarti sedang menyiapkan diri untuk merasakan surga pengetahuan di dunia ini, sebelum kelak berjumpa dengan surga yang hakiki.[ahf]

Posting Komentar untuk "LITERASI BUKU"