BIASA MENULIS
“Kebiasaan menulis adalah cermin kesungguhan mencari ilmu dan mengikat hikmah.”
fathani.com. – Banyak orang beranggapan bahwa menulis adalah urusan bakat. Jika seseorang tidak berbakat, maka ia tidak akan mampu menghasilkan tulisan yang baik. Pandangan ini tampak masuk akal, karena di sekitar kita memang ada orang yang sejak kecil pandai merangkai kata, fasih menulis cerita, atau mudah menyusun argumen dalam bentuk tulisan.
Namun, pandangan tersebut sebenarnya hanya separuh benar. Menulis tidak semata-mata soal bakat. Menulis adalah kebiasaan. Dan kabar baiknya, kebiasaan itu bisa ditumbuhkan oleh siapa pun, kapan pun, asalkan ada niat dan latihan yang konsisten.
Kebiasaan menulis memiliki akar yang dalam dalam tradisi keilmuan. Dalam Islam, misalnya, Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Pesan singkat ini menegaskan bahwa ilmu yang tidak dituliskan akan cepat hilang. Imam Al-Ghazali pun menegaskan hal yang sama: “Ilmu tanpa tulisan bagaikan hewan buruan yang lepas.” Kedua pesan ini menekankan satu hal penting: menulis bukan sekadar aktivitas, melainkan cara untuk menjaga pengetahuan agar tetap hidup dan bermanfaat.
Menulis berarti mengikat ilmu, sekaligus mengikat hikmah. Banyak pengalaman hidup yang kita lalui begitu cepat. Ada peristiwa yang menggetarkan hati, ada pelajaran berharga yang kita temui, ada renungan batin yang meneduhkan jiwa. Namun, tanpa ditulis, semua itu mudah lenyap, larut dalam arus waktu. Dengan menulis, kita menjadikan pengalaman itu lebih abadi, bisa diulang dibaca, direnungi kembali, bahkan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Selain menjaga ilmu, menulis juga melatih cara berpikir. Francis Bacon, seorang filsuf dari Inggris, pernah mengatakan, “Menulis membuat seseorang menjadi lengkap.” Ketika kita menulis, kita sedang berusaha merapikan ide. Pikiran yang semula berantakan dipaksa untuk tersusun, karena tulisan menuntut keteraturan. Menulis juga melatih kejelasan: kita harus memilih kata yang tepat, menyusun kalimat yang jelas, dan memastikan pesan bisa dipahami orang lain. Dengan begitu, menulis menjadi latihan intelektual yang sangat penting—ia bukan hanya soal kata, tetapi soal cara berpikir.
Menulis juga membuat seseorang lebih peka terhadap lingkungannya. Orang yang terbiasa menulis akan melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. Ia belajar menangkap detail, mencari makna, dan menyusun pengalaman menjadi narasi. Bahkan, banyak orang yang menemukan dirinya justru melalui tulisan. Menulis menjadi sarana untuk berdialog dengan diri sendiri, menyapa hati, sekaligus menata hidup.
Dalam konteks yang lebih luas, menulis juga terkait dengan peradaban. Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Tulisan adalah jejak peradaban. Dari manuskrip kuno, kitab-kitab ulama, hingga buku-buku modern, semuanya menjadi bukti bahwa menulis adalah cara manusia meninggalkan warisan. Tanpa tulisan, gagasan sehebat apa pun bisa lenyap ditelan waktu.
Namun, membiasakan menulis tentu bukan hal mudah. Tidak ada orang yang langsung pandai menulis hanya dalam sekali duduk. Sama seperti belajar membaca Al-Qur’an, berolahraga, atau mengerjakan soal matematika, menulis membutuhkan latihan yang berulang. Pada awalnya, menulis mungkin terasa berat: kata-kata tidak keluar, kalimat terasa kaku, atau gagasan tidak tersusun. Tetapi, dengan latihan terus-menerus, menulis akan menjadi lebih lancar. Dari yang awalnya terasa sulit, lama-lama menulis menjadi mudah, bahkan menyenangkan.
Kuncinya adalah konsistensi. Membiasakan diri menulis sedikit demi sedikit setiap hari jauh lebih efektif dibanding menunggu momen besar untuk menulis panjang. Bisa dimulai dengan menulis catatan harian, refleksi singkat, atau bahkan postingan ringan di media sosial. Dari hal-hal kecil itu, perlahan seseorang akan menemukan gaya tulisannya sendiri, menemukan suaranya sendiri. Seperti halnya kebiasaan lain, semakin sering dilakukan, semakin kuat tertanam.
Pada akhirnya, menulis bukan lagi soal bakat. Menulis adalah keterampilan sekaligus kebiasaan. Bakat mungkin membantu di awal, tetapi tanpa kebiasaan, bakat itu tidak akan berkembang. Sebaliknya, orang yang tidak merasa berbakat pun bisa menjadi penulis yang baik jika ia konsisten berlatih.
Menulis adalah kebiasaan yang akan membawa banyak manfaat. Ia menjaga ilmu, mengikat hikmah, melatih pikiran, menumbuhkan kepekaan, dan meninggalkan jejak sejarah. Menulis bukan lagi sekadar aktivitas teknis, tetapi menjadi bagian dari kehidupan yang bermakna.
Maka, mari biasakan diri menulis. Tidak perlu menunggu sempurna, tidak perlu menunggu pandai. Mulailah dari yang sederhana, dari yang kecil, dari yang sehari-hari. Karena dengan menulis, kita sedang merawat ilmu, merapikan pikiran, dan meninggalkan warisan. Dengan menulis secara konsisten, pada akhirnya kita akan benar-benar menjadi biasa menulis.[ahf]
Posting Komentar untuk "BIASA MENULIS"
Posting Komentar